Selasa, 15 Mei 2012

Miskin Yang Semakin Miskin

 Si Miskin Makin Miskin, Tanya Kenapa  


JAKARTA—Bicara soal kelaparan tak perlu jauh-jauh ke Kabupaten Yahukimo, Papua, 
yang sejak November 2005 sudah 57 warganya meninggal dan 112 sakit. Sebab, di 
Kota Yogyakarta saja, yang jauhnya dapat dijangkau dengan kendaraan bajaj dari 
Jakarta, masih ada anak manusia yang nasibnya hampir serupa dengan di Papua di 
ujung sana. 

  Yasmin Sofia yang masih bayi, misalnya, menderita gizi buruk sehingga dirawat 
di RSUD Wirosaban, Yogyakarta sejak Jumat (1/12). Ketika masuk rumah sakit, 
standar deviasi kesehatan Yasmin kurang dari minus 2, yang berarti kondisi 
kesehatannya di bawah standar gizi layak Organisasi Kesehatan Dunia (World 
Health Organization/WHO).

  Sebelumnya, Juni lalu, RSUD Wirosaban juga merawat lima anak balita yang 
mengalami gangguan gizi buruk. Salah satu diantaranya positif busung lapar. 
Dalam kasus ini, faktor kemiskinan merupakan faktor dominan yang mempengaruhi 
munculnya masalah gizi buruk.

  Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X merasa yakin penderita gizi 
buruk di wilayahnya lebih banyak dibandingkan dengan data yang masuk (tahun 
2005 penderita gizi buruk di DIY mencapai 1.632 balita).
“Boleh jadi, orang tua si penderita gizi buruk hanya membawa seorang anaknya ke 
rumah sakit atau puskesmas, padahal dua anaknya yang tidak sakit parah juga 
menderita gizi buruk,” katanya.

Padahal, Yasmin Sofia dan “kawan-kawan” adalah “produk” sebelum harga bahan 
bakar minyak (BBM) naik mulai 1 Oktober 2005. Lantas, bagaimana dengan anak 
dari kalangan miskin yang lahir pasca-melonjaknya harga BBM? Apa hubungannya 
busung lapar dengan harga BBM? Bingung kan, kalau ada pertanyaan semacam ini. 
Coba saja lihat potret buram para buruh. Di Bandung, ada Bambang Prasetya. 
   
  Setelah lebaran lalu, ia menjadi tukang ojek di sekitar Ujung Berung, akibat 
di-PHK dari pabrik tekstil dan produk tekstil (TPT) di kawasan Banjaran, 
Kabupaten Bandung. Di pabrik itu, bapak dua anak ini bekerja di bagian spinning 
hampir lima tahun dengan penghasilan kotor Rp 750.000 setiap bulan.

  Nama Bambang masuk dalam daftar sekitar 50 buruh yang di-PHK, setelah 
pabriknya tak mampu mengejar biaya produksi akibat harga BBM naik drastis. 
Lantas, Bambang pun mencari akal, uang pesangon dibelikan sepeda motor milik 
temannya. Tapi ternyata, penghasilan tukang ojek tidak tentu, setiap hari 
paling banyak Rp 20.000-Rp 30.000.

  Berapa banyak buruh yang di-PHK pasca-kenaikan harga BBM? Di Jawa Barat saja, 
menurut Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jabar, Iwan D. Hanafi, dalam 
satu tahun ini sedikitnya 100.000 buruh kehilangan pekerjaan. Iwan bahkan 
memprediksi buruh yang di-PHK tahun depan semakin banyak, dan memastikan 20-30 
persen perusahaan di Jabar gulung tikar jika kondisi usaha masih seperti 
sekarang.

  Di Jawa Tengah, puluhan perusahaan telah mem-PHK secara massal, sebagai 
bagian dari efisiensi perusahaan untuk menekan biaya produksi sejak kenaikan 
harga BBM. Menurut Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jawa Tengah, 
Srimoyo Tamtomo, sudah ada 21 perusahaan yang melakukan PHK terhadap 7.724 
buruh, dan hingga akhir Desember nanti diperkirakan ada 15.000 buruh yang 
terkena PHK.

  Belum lagi soal nelayan yang kini beralih profesi menjadi tukang becak karena 
tak mampu membeli BBM untuk melaut. Itulah yang juga terjadi di Banten. 
Padahal, di Banten daerah bebas becak semakin meluas. Begitu juga di pantai 
utara, setelah 1 Oktober sekitar 20.000 kapal dari 60.000 kapal nelayan 
menambatkan perahu di pantai. Ini berarti, jumlah pengangguran kian meningkat. 
Ini berarti pula, angka kemiskinan akan melonjak. 

Masih Juga Dikorupsi
Masih ingat, kasus pembagian bantuan langsung tunai (BLT) kompensasi kenaikan 
BBM kepada keluarga miskin (gakin), yang sangat kisruh itu. Hanya demi Rp 
300.000 seorang bapak tua yang sedang sakit memaksakan diri ikut antre BLT di 
kantor pos dengan dipapah anaknya. Keluar dari kantor pos, ia tak kuat lagi dan 
jatuh pingsan.
Kasus lainnya, enam lelaki sekitar umur 70 tahun meninggal ketika sedang antre 
BLT. Anehnya, dalam situasi seperti ini masih ada juga orang yang tega memotong 
BLT. Di Desa Warugede, Kecamatan Depok, Kabupaten Cirebon, BLT dipotong 
langsung oleh petugas RT sebesar Rp 100.000-Rp 200.000 per keluarga.

  Pemotongan dilakukan terang-terangan. Setelah menerima uang, mereka dicegat 
oleh petugas RT yang berdiri di depan pintu Balai Desa Warugede. Katanya, uang 
itu akan disetorkan kepada ketua RT, untuk dibagikan kepada warga miskin yang 
tidak mendapat jatah BLT. Apakah ini cuma akal-akalan? Aha, untuk yang satu 
ini, orang Indonesia memang lihai.

  Kembali lagi ke soal Yasmin Sofia, bayi penderita gizi buruk itu. Akankah 
masa depannya berubah jadi cerah? Sulit rasanya. Karena proses pembentukan 
jaringan biologis maupun psikologis sudah dimulai sejak bayi masih dalam 
kandungan. Apalagi, jika orang tuanya tidak mengerti tentang pentingnya arti 
pendidikan dan kesehatan.

  Kemudian muncul pertanyaan, siapa yang seharusnya wajib mengentaskan kalangan 
miskin dari keterpurukan? Jawabannya, tentu pihak eksekutif dan legislatif. 
Tapi nyatanya, para pejabat tinggi negara dan para wakil rakyat lebih asyik 
dengan diri mereka sendiri. 

  Buktinya, mereka rame-rame naik gaji. Mulai Januari 2006 gaji presiden dan 
wakil presiden naik rata-rata lima persen. Gaji pokok presiden selama ini Rp 
30,24 juta per bulan dan gaji pokok wakil presiden Rp 20,16 juta. Nah, anggota 
DPR juga tak mau kalah, mereka kini memperolah tunjangan komunikasi dengan 
konstituen partai sebesar Rp 10 juta per bulan. 

  Padahal, fasilitas anggota DPR periode 2004-2009 berupa gaji pokok Rp 
4.200.000/bulan, tunjangan jabatan Rp 9.700.000/bulan, uang paket Rp 2 
juta/bulan, beras Rp 30.090/jiwa/bulan. Masih ditambah tunjangan untuk 
keluarga, penerimaan lain-lain, biaya perjalanan, rumah jabatan, perawatan 
kesehatan dan uang duka, serta uang pensiun, yang kalau ditotal pasti bikin 
ngiler rakyat miskin.

  Sebaliknya, orang seperti di Yahukimo itu, ubi saja sebagai makanan pokok, 
sulit didapat. Tetapi, Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Menko 
Kesra) Aburizal Bakrie memandangnya dari sisi lain, yaitu belum terjadi bencana 
kelaparan di Yahukimo.

  Begitulah. Seluruh rakyat wajib mencintai Republik Indonesia. Yang membelot 
harus bertaruh nyawa. Tetapi, yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin 
miskin. Coba, tanya kenapa. (*)